Pages

Thursday, October 28, 2010

Economic Rationality, and Social Trap (1)

"Rasionalitas adalah hasil buah pemikiran yang sinkron antara intelegensia otak, dan pembenaran hati"
Prof Irzan Tanjung
Well, ini merupakan hasil rangkuman dari kuliah umum hari ini oleh Prof.Irzan Tandjung, Berly Martawardaya dan Donny Gahral. Hari ini saya mendapatkan sebuah pandangan akademik baru, sebuah pandangan akademis yang luas, dinamis, dan hidup. Suatu hal yang menyenangkan melihat iklim diskusi terus digiatkan, mengingat pembelajaran saat ini di FEUI, dilihat dari karakter mahasiswa-nya sangatlah eco-sentris. Padahal, dilihat secara historis, ekonomi adalah pecahan dari suatu ilmu politik, ataupun filsafat, namun kemudian, perkembangan ekonomi semakin menyempt dengan lahirnya paham neo-klasik, sebelum akhirnya era behavioral economics muncul.

Economics of Rationality, menggugat rasionalitas konvensional.

Bahasan ini cukup berat*terlihat dari antusiasme mahasiswa saat mendengarkan topik ini. Memang, tiap orang berhak menentukan apa yang ia suka, dan tidak ia suka untuk dipahami. Namun, pembahasan ini menurut saya sangat fundamental, membutuhkan pemikiran yang stratejik. Dan, tidak ada salahnya kita sedikit bermain-main dengan istilah-istilah baru bukan? Hal tersebut tidak ubahnya belajar vocabulary english, dalam konteks yang berbeda.

Economics of Rationality, menurut Prof.Irzan adalah suatu pandangan rasionalitas ekonomi, yang menggabungkan hati, dan otak. Hemat saya, rasionalitas dalam konteks ini adalah ilmu ekonomi, dengan ilmu sosial. Tidak bisa dipungkiri bahwa, dasar dari ilmu ekonomi, yang dipahami secara baik dari awal, adalah untuk memuaskan kebutuhan manusia yang tidak terbatas, dengan sumber daya terbatas. Adam Smith (1776), kemudian, membuat klasifikasi manusia sebagai insan yang egois, homo economicus.

Dalam pembahasan rasionalitas inilah, suatu cabang ilmu, dibenturkan dengan dasar dari disiplin ilmu yang lain. Misalnya, dengan ilmu sosial. Kita ambil contoh untuk mempermudah, tenaga kerja kontrak. Berbicara dari sisi ekonomi, atas nama efisiensi, sebagai derivasi dari pandangan ekonomi, tenaga kerja kontrak seharusnya diperbolehkan. Namun, ketika kita berbicara dari sudut pandang sosial, sosiologi misalnya, seharusnya tenaga kerja kontrak dihapuskan, karena memberikan ketidakpastian (insecurity) pada pekerja. Pandangan semacam ini sering kita temukan sebagai suatu hal yang kontradiktif.

Ataupun ketika era awal perusahaan, sebagai entitas yang profit-oriented, bertransisi untuk menjadi entitas yang people-oriented. Bila kita berkaca pada bahasan Milton Frideman (1965), akan keniscayaan-nya pada CSR sebagai suatu yang tidak seharusnya dilakukan perusahaan, kita kemudian akan menemukan hal tersebut lenyap ketika saat ini CSR menjadi suatu hal yang penting. Saat pandangan sosial mulai bertemu dengan paham ekonomi, terjadilah asimilasi. Ketika awalnya pandangan akan CSR dianggap tidak pada tempatnya, rasionalitas manusia-lah yang membuatnya bisa ada.

Nah, bagaimana dengan social trap? Social trap adalah suatu efek negatif kepada aspek sosial, sebagai akibat utilisasi kegiatan ekonomi yang berlandaskan maksimisasi profit. Contohnya adalah pandangan akan tenaga kerja kontrak tadi, yang secara ekonomi dianggap efisien, namun dalam kajian sosiologis ddianggap tidak tepat dengan kondisi ketenagakerjaan, Ataupun terhadap isu iklan, yang secara ekonomi sah, namun secara psikologi konsumen, berarti mendorong pada sikap konsumtif, afeksionis, dan sebagainya.

Namun, tidak berarti rasionalitas adalah proses yang saling memusnahkan, melainkan memperbaiki suatu pola sistem yang ada untuk dapat bercampur satu sama lain. Suatu disiplim ilmu, sebenarnya bertujuan sama, memperbaiki kehidupan umat manusia (Aristoteles). Rasionalitas haruslah dipandang sebagai proses konstruktif dalam mencipatakan suatu pemahaman yang komprehensif, dan tepat secara filosofis, ontologis, dan epistimologis.


Wednesday, October 13, 2010

Here I Am

Tree of Hope. I wish i could answer world's grievances for truth behind lies.

"Aku bukanlah orang yang pandai bermain kata, ataupun dapat membuat mimpi-mimpi indah akan dunia ini. Namun, aku tahu apa yang harus kulakukan, dan apa yang penting dilakukan. Aku mengetahui bahwa dengan kepintaran diatas rata-rata yang diberikan Tuhan pada-ku, aku bisa berbuat sesuatu. Itulah yang membuatku bisa tetap tegar memandang masa depanku, dan dunia-ku, meski tanpa angan-angan utopis. Aku bekerja dengan kata-kata, rumus-rumus, dan analisa-analisa, yang aku percaya, dapat memberi nilai tambah bagi-ku, dan dunia yang aku tempati."



Monday, October 11, 2010

Indonesian Football Team or PSSI Humiliation?

Do our national football team have chance? Wait and see!


Friday, 8 October 2010, one of the biggest match in Indonesia was being held. It was a match between Indonesia vs Uruguay. Indonesia had a real challenge from Uruguay, which now seat on the 7th position in FIFA football rank, and the semi-finalist of FIFA World Cup 2010 in South Africa. Around 50,000 spectators came to support our National team at that time.

Indonesia expect for a glimmer of hope. Several days before the match was being held, newspaper intensively report our national team preparation, from our new prospectus coach, Alfred Riedl, to the invitation of foreign player who reported play in Netherlands League. It was a glimpse of hope, said one of commentator just a minute before the match started. Obviously, people all over Indonesia expect for a better team.

Our hope slightly answered when Boaz scored the first goal on the match for Indonesia, with a skillful individual ability. However, it only last for minute until Cavani scored with a powerful scoring header from Uruguay, and another goal from Suarez. Until the first half, our team was good enough to compete with Uruguay.

It come for the second half, when Indonesian team and spectators witnessed Uruguay world-class playing, and scored another 5 goals, some of them resulted from the mistaken of our defense line. We're being outplayed, said one of the commentator at the end time. Surely, every one will said the same, our national team was outplayed in technique, stamina, and teamwork. Not only against Uruguay, some previous matches against Australia, Vietnam, or Singapore also proved that we are lack of those skills.

At the end, we might have the same question, when our national football crisis will over?



Suarez's Goals


Who's to be blamed?

Just after the match finished, many soccer fans show their grievances, against the outplayed national team in Facebook and Twitter. Some of them blamed the defense player, some of them blamed Alfred Riedl, however, you must be agree with me, that most of them condemn PSSI. They were complained for lacks of managerial program from PSSI, from youth player development, until League's schedule program. "Even PSSI is not able to resolve their internal conflict, such as the election for a new PSSI chairman" one commentators wrote.

For sure, PSSI ought to be the most responsible one. Still clear in some of Indonesian fans when Indonesian national team in 1960's, when we were become one of greatest soccer team in Asia. Our youth development program had succeed to create regional-class player, such as Ronny Pattinasarani, Kurniawan, and BimaSakti. The last two even had chances to played in Italian league. Nowadays, we are lack of talented young player, while Thailand had Khiatisuk Senamuang which ever played in English league, or even Singapore that neutralized several International player.

Another PSSI homework is to manage domestic league competition. PSSI have to regulated about the use of foreign player in domestic teams, brutality among player and spectators is another issue that needed to be handled as it caused severe impacts toward the harmony of football player, and the prestige of domestic football in international point of view.

We are on a hardship. And will be last for ever, if PSSI let problems stay on the boat. PSSI are advancing for the next election of PSSI chairman. This is the time for PSSI to change. Changes never show its result instantly, but when it one succeed it will give an immense effect toward our football prospectus in the future.

Friday, October 8, 2010

Next Target!

Yups, tahun ini pengennya bisa meraih 5 prestasi di karya tulis. Alhamdulillah udah ada 4..
ESC - 1st Essay
ESC - 3rd Research
FISION - 2 nd Essay
IIRA - The youngest presenter

What's next?
Okayh, ayo semangat buat mencapai target ini!
PKM-P PIMNAS
Sciencational LK2 FH UI
IEO FEUI

dan bisa nembusin tulisan ke koran. Bismillah!!!!

Lesson to be Learned! The Creative Destruction Process in Essay


Dear blog! Saya mungkin pada awalnya begitu kecewa dengan kegagalan saya di essay untuk tahun kedua. Mungkin bila tahun pertama saya memang belum siap, tahun ini mungkin saya merasa terlalu PD menghadapi tantangan. Worth saying, memang, kompetisi EPK adalah kompetisi yang sangat dinamis! Menurut saya, penilaian bersifat subjektif atas disiplin dan persepsi pengetahuan juri. Dan memang, namanya juga EPK ya, jadi kritisasi dan inovasi adalah pelajarannya.

Di blog sebelumnya, saya pernah menuliskan beberapa tips menulis essay. Hari ini, alhamdulillah saya mendapatkan satu lagi tipsnya, yang saya lupakan :

"Proses penulisan essay pemikiran kritis bermulai dari sebuah, atau segelumit peristiwa yang kita kritisi, analisis, dan berujung pada penciptaan sebuah inovasi kritis atas permasalahan yang ada. Essay yang kritis, haruslah bisa menunjukan bahwa sebuah permasalahan tersebut benar-benar penting, dan berujung pada beberapa inovasi kritis."

Pada essay kali ini, saya kurang mengelaborasi urgensi permasalahannya. Benar kata juri dari FH, saya mungkin harus bisa memberikan contoh kongkret permasalahan, misal, tenaga kerja kontrak dalam bentuk pekerja migran. Mungkin permasalahan saya bisa lebih baik dielaborasikan, begitu pula dengan solusinya. Contohnya, bisa menyajikan data permasalahan, korban jiwa, kerugian,dsb, Solusinya, kalau bisa terintegrasi dan jangan yang umum. HMMM!

Namun, alhamdulillah, saya kembali bisa belajar. Dunia itu luas, semua orang berkembang, pemikiran berkembang, dan creative destruction-pun tercipta. Oleh karenanya, tetap semangat! dan teruslah menulis!