Pages

Saturday, January 15, 2011

Opportunity Cost Sehari-Hari = Biaya Malas

Dalam kehidupan sebagai anak kost saya menemukan konsepsi dari biaya peluang, yang ternyata dapat dianalogikan sebagai biaya kemalasan. Mau buktinya?

1. Makan Mie Goreng ke Warung

Seringkali karena malas ke warung beli sendiri, atau males masak jadi membeli. Beginilah persamaannya :

Mie Goreng 2 Bungkus (3000) +Telor Ayam (1000) + Opportunity Cost (Biaya Malas) = Indomie Goreng Double Telor di Warung (8,000)

Jadi biaya malas saya adalah 4,000! how lame!

2. Beli Susu Ultra Milk

Ini juga, karena males buat, dan ada yang praktis, beli aja di luar.

Ovaltine 2 sendok (1,000) + Air Panas (Free) + Biaya Malas = Ovaltine Siap Jadi (4000)

Jadi biaya malas saya adalah 3,000!

3. Naik Ojek

Akibat anak muda banya kesibukan, jadinya males or capek jalan jauh, Persamaannya :

Jalan Kaki (Free) + Biaya Capek = Ojek (5,000)

Biaya Capek saya adalah 5,000

4. Beli Koran

Meski era sudah maju, ada Online cuma karena malas baca online, jadi beli koran yang cetak. Padahal kalau kita mau baca e-paper kompas, isinya sama saja.

Akses internet koran Online (Free kalau ad modem sendiri) + Biaya Males Baca Online = Koran Cetak (3,000)

Biaya malas saya adalah 3,000!

5. Nge-Laundry

Ini jadi andalan bnget nih kalo ga ad duit banyak, penghematan yang luar biasa. Asumsi cucian 3 kg)

Rinso (1,000) + Air (Free) + Molto (1,000) +Biaya Malas Nyuci = Laundry 3 kg (12,000)

Jadi biaya malas kita adalah 10,000!

6. Biaya Nge-Net ke Kampus

Ngenet di Kampus (Free) + Biaya Malas Jalan = Biaya ke Warnet (3,000/Jam)

Biaya Malas saya adalah 3,000!

Kesimpulan :
Terkadang istilah Biaya Peluang terlalu luas dan kompleks didefinisikan, padahal sehari-hari kita mengalaminya. Implikasinya bagi para mahasiswa ekonomi, dapat dipergunakan dalam analisis pengambilan keputusan. Analisis biaya peluang dapat digunakan untuk menghembat budget, mengatasi penyelesan di kemudia hari, dan bermacam-macam biaya yang mubazir,haha..:D

Economic and Morality

Paul Krugman had broadly explained how economist may seen "equalities of opportunity", and how is not included in economic discussions, yet relevant for building blocs contra-argument for the basis of vile injustice against morality in economics.

Wednesday, January 12, 2011

Merevitalisasi Sikap Toleransi Bermasyarakat di Indonesia



Indonesia, sebuah negara dengan anugerah keanekaragaman yang luar biasa. Tidak hanya keanekaragaman hayati, namun juga sosio-kultural masyarakatnya. Membentang dari Sabang sampai Merauke, Indonesia memiliki ribuan etnis suku bangsa tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Menurut situs Jawapos Online, yang dilansir oleh BPS, Indonesia memiliki sekitar 1,128 suku bangsa (JawaPosOnline,Februari 2010).

Indonesia juga dikenal dunia sebagai negara yang plural, dimana terdapat lima kerpecayaan yang berbeda yang dianut dan diakui dalam sistem kemasyarakatan Indonesia. Tidak heran, Indonesia seringkali disebut sebagai salah satu contoh negara yang menjadi teladan pluralitas yang baik di dunia.

Namun, apresiasi tinggi tersebut belum tepat disematkan, apabila melihat kenyataandi masyarakat yang jauh panggang dari api. Hasil penelitian Wahid Institute pada tahun 2010 melaporkan 63 tindakan penyerangan, atau pelanggaran kebebasan umat beragama. Adapun kasus terbanyak disumbangkan oleh kegiatan pembatasan kegiatan peribadatan, dan pelarangan/pemaksaan berkeyakinan, masing-masing 19 dan 25 kasus.

Tindakan lain yang juga dapat mencederai kerukunan masyarakat adalah terorisme yang mengatasnamakan etnis, ataupun agama tertentu. Masih segar diingatan kita atas pemboman yang dilakukan di hotel Ritz-Carlton,JW Marriot, ataupun Bali. Ironisnya, tindakan terorisme ini justru membawa embel-embel sekelompok kaum tertentu yang terkesan merepresentasikan umat, padahal dalam kenyataannya tidaklah demikian.

Akibat dari peristiwa tersebut sangatlah jelas; angka kunjungan pariwisata asing menurun, kepercayaan pihak asing terhadap kredibilitas Indonesia memudar, maupun munculnya atribusi masyarakat dunia akan Indonesia sebagai negara yang intolerir.

Kedepan, kita tentunya berharap akan banyak perubahan atas paradigma masyarakat Indonesia dalam memandang toleransi antar etnis, ataupun antar umat beragama. Sudah saatnya kita membuang skeptisisme terhadap kaum yang berbeda dari kita. Mewujudkan kebersamaan dalam keberagaman kiranya menjadi kunci bagi Indonesia untuk dapat menciptakan keamanan dan kedamaian di dalam masyarakat.

Sikap toleransi juga dapat membuka paradigma berpikir yang selama ini tertutup. Masih banyak diantara masyarakat kita yang belum mau membuka diri terhadap ilmu pengetahuan, teknologi yang bukan berasal dari kebudayaan mereka. Padahal, tentunya tidak semua hal yang baru itu buruk. Ketika sikap toleransi mulai dipupuk, begitu juga dengan keterbukaan masyarakat kita akan hal baru diluar lingkungan mereka, untuk kemudian diambil manfaatnya.

Untuk dapat mewujudkan kerukunan semacam itu, menurut John L.Esposito, pakar teologi George Washington University, dalam buku terbarunya Masa Depan Islam, dapat dilaksanakan dengan menggunakan metode edukatif. Di bangku sekolah dasar, kita belajar PPKN, apa itu toleransi umat beragama, apa pentingnya, dan bagaimana mewujudkannya. Pendidikan tersebut harus kembali dihidupkan sedari dini agar anak-anak dapat lebih ditekankan akan pentingnya sikap tenggang rasa dan manfaatnya kelak didalam bermasyarakat.

Selain itu, diskusi-diskusi antara pemuka agama, pengambil kebijakan dan masyarakat juga harus ditingkatkan. RUU Kerukukan Umat Beragama yang direncakan di tahun ini, harus segera dibahas, dalam penjaminan kebebasan umat beragama, Masyarakat juga perlu terus diberi pencerdasan mengenai pentingnya kerukunan umat beragama dalam menciptakan keamanan dan kedamaian bersama. Bersama-sama, di tahun 2011 ini, tidak peduli berbeda warna kulit, etnis, ataupun agama, kita hidupkan kembali semangat persatuan dan berkebangsaan, demi kemajuan bangsa yang lebih baik.

Monday, January 10, 2011

Kodinhi, alkisah Kota Kembar di India

Kodinhi, mungkin terasa asing kita mendengarnya. Kodinhi merupakan salah satu kota di India, yang berada di daerah India Selatan. Kota ini mayoritas ditempati oleh India Muslim, dengan populasi 1,5 juta.

Kodinhi menjadi salah satu terkenal di dunia, karena diberi gelar sebagai Kota Kembar. Gelar ini disematkan karena banyaknya kelahiran kembar di kota ini, Bayangkan, ada sebuah keluarga, yang selam turun temurun memiliki 250 keturunan kembar di dalam keluarganya!. Di kota ini, kelahiran kembar merupakan suatu hal yang lumrah. Setiap momen kelahiran anak, sang orang tua mengharapkan anaknya lahir kembar, yang mereka anggap sebagai berkah Allah SWT.

Fenomena Kodinhi ini menyita perhatian banyak pakar, salah satunya Dr.Brijit. Dr.Brikit merupakan pakar Biologi yang meneliti fenomena anak kembar di Kodinhi. Dr.Brijit menemukan, fenomena kembar di Kodinhi, telah berlangsung selama 20-35 tahun yang lalu, Di mana angka kelahiran anak kembar sangatlah pesat tiap tahunnya. Angka pertumbuhan disana, juta mencapai ratusan ribu penduduk tiap tahunnya, dan hampir separuhnya anak kembar.

Dr.Brijit, menganggap ini adalah salah satu fenomena alam yang luar biasa. Ia menganggap, bahwa fenomena ini disebabkan oleh rekayasa genetis. Di Kodingi, dahulunya para muda-mudi kawin dalam usia yang muda, sekitar 18 tahun. Selain itu, banyak pula yang diantara mereka yang kawin antar-sepupu, yang dianggap Dr.Brijit sebagai faktor penyebabnya.

Padahal, hingga 30 tahun lalu, banyak wanita Kodinhi yang mandul. Hingga pada saat itu, diberikanlah reramuan untuk mencegah kemandulan itu. Dr.Brijit juga berpendapat ramuan tersebut sangat mungkin merangsang ovarium wanita, dan membuat suatu rekaya genetis dalam kelahiran anak kembar.

Penyebaran jumlah anak kembar di Kodinhi memang menyita perhatiaan dunia. Sama dengan Vol Allegre di Brazil, dan teori Building Effect, suatu alasan ketidaksengajaan genetis dalam kelahiran anak kembar. Namun, di Kodinhi, suatu anggapa kita bahwa “apabila kita melahirkan anak kembar, maka kemungkinan anak kembar akan lahir kembali pada cucu kita”. Ternyata di Kodinhi tidak seperti itu, anak kita mungkin saja kembali melahirkan anak kembar.

Namun, dibalik cerita tersebut, terdapat sisi negatif dari peningkatan kelahiran jumlah anak kembar. Kelahiran anak yang pesat, menimbulkan beban ekonomi bagi keluarga. Ditambah lagi, di Kodinhi, ada semacam biaya yang diberikan kepada keluarga istri, tiap kelahiran anak.

Hal ini menyebabkan tidak jarang praktek aborsi dilakukan. Banyak yang diantara mereka menganggap anak perempuan kembar justru menjadi suatu tanggungan berat bagi keluarga. Meskipun, anggapan tersebut sudah berkurang saat ini, ledakan populasi menjadi masalah bagi Kodinhi.

Ditulis berdasarkan tayang NatGeo Channel (Senin,11 Januari 2011) : Inside Town:Twin Towns


BB Restrictions Vs Chily Price Rising : How Bad Are Inequalities Recently?

Karni Ilyas once tweeted "Upper and Middle Class People were loudly talking about Black Berry content restrictions, while Lower Class were loudly complaining about higher prices of chilly". Previous phenomena may explicitly shown how was inequalities in Indonesia, where the "have" talking about luxurious goods, and the "have not" talking about primary goods (in assumption chili is primary food". The gap between the up-middle class and low class has becoming wider.

Is inequality bad? For Simon Kuztnet, USA economist and former nobelist in economy, inequality is a common side-effect as country moving in stage-development transition. Inequality deemed as the period where the capital accumulation occur, and as time move by, inequality suppose to reduce. Kuznet argued, as growth continuously growth, inequality will simultaneously reduced, as an effect of proper distribution of accumulated capital. However, how long the inequalities prevail?, such a proper question for developing countries which seeks for a decent equalities.

Given Indonesia case, however the inequality seemed has further widening. Evidence proved by BPS report in 2009 had reported that 60% of GDP flows in Java. Another evidence was poverty rate, which shown a big gap between Java and outer Java, especially in East Indonesian regions. Mean poverty rate in Java, by 2009, is 13%, comparing to east Indonesian regions, such as Maluku and Papua, which are 30% and 40%.

This soaring inequalities, are also followed by corrupt government, highly birocrated administrations, which in turn slowing off the stabilizing action from governmental programs.

Rapid mass of premature modernization may also take into account, as the reasons for widening gaps in society. Proper modernization suppose to lead for an advanced, educated society. However, the opposite happened. How may rural now spent time for electronic voucher? How many kids spent his time all over the computer, left off productive things that they could done? How many punk, overdressed people, upcoming recently, which spent most of their time watching concert, making riots over the cities? All thanks to rapid, but pre-mature modernizations.

That was my opinions on how recent inequality may be explained. It is pretty obvious opinions need more data, and supporting facts, however, we may just use rationality and common sense to realize this phenomena. The case of BB vs Chily Price Rising is rightly on time, provide an excellent lessons, as well as homeworks for government. When they have a lot of their attention to financial market, industrialization, they may have long forgotten with their promise to improve the well-being of Indonesia people.

Tuesday, January 4, 2011

To Beat Back Poverty, Pay the Poor

Tulisan dari Tina Rosenberg mengenai Conditional Cash Transfer di Brazil dan Mexico, yang berhasil menurunkan income inequality dan menaikan enrollment rate : To Beat Back Poverty, Pay the Poor