Pages

Thursday, April 15, 2010

Kapitalisme dan Degradasi Moral

Dalam Ilmu Ekonomi, kita belajar bagaimana mengalokasikan keinginan(hasrat) manusia yang tidak terbatas, dengan sumber daya yang terbatas. Kita belajar bagaimana mencapai kondisi yang seimbang, mendapatkan kepuasaan yang optimal, dengan penggunaan sumber daya yang proporsional. Namun apa yang kita lihat saat ini, manusia sudah melampaui batas. Demi mencapai kepuasan yang maksimal, segala cara dihalalkan demi mencapai tujuan.

Sri Edi Swasono menggambarkan sikap manusia saat ini sebagai homo economicus, alih-alih homo ethicus[1]. Homo economicus digambarkan sebagai individual yang bercirikan egois, rational dan menginginkan maksimalisasi kepuasan serta oportunis. Ia bertindak secara independen, dan terisolasi dari lingkar sosial, tidak dapat dipercaya mempercayai orang lain. Sementara homo ethicus digambarkan sebagai manusia yang mengedepankan sikap peduli sesama (altruism), kooperatif dan jujur. Ia terikat kuat dengan lingkungan sosialnya, mampu bekerja sama dengan baik, berdasar keinginan bersama (collective interest).

Ilmu ekonomi pada hakekatnya adalah sebuah moral science, yang melandaskan pada keadilan, peduli dengan persamaam, dan pemerataan, kemanusian dan nilai-nilai agama. Adam Smith, dalam The Theory of Moral Sentiment justru secara tegas memperkuat gambaran kesetaraan, dan kebersamaan dalam ilmu ekonomi yang digambarkan sebagai moral sciences.[2] Pandangan ini juga diperluas oleh Joan Robinson bahwa ilmu ekonomi seharunya menjunjung kolektivisme, mentidakan individualisme a la barat yang berujung pada egoisme.[3]

Namun, seiring perkembangannya, para kamu neo-klasikal lebih berpihak kepada teori neo-klasikal Smith dalam The Wealth of The Nations, yang menekankan kepada peran self-regulating, self intervention, yang mengacu kepada maksimalisasi kepuasaan. Moral tidak lagi menjadi sebuah nilai yang dinilai penting, nilainya berada di bawah kepuasan individu itu sendiri.[4]

Umer Chapra secara tegas memaparkan bahwa pandangan ekonomi neoklasikal, yang menitikberatkan kepada materi, bertentangan dengan pandangan agama. Chapra memaparkannya sebagai berikut :

The anathema of conventional economics(neo-classical) to value judgments and its excessive emphasis on maximization of wealth and satisfaction and the serving of self-interest was a clear departure from the basic philosophy of most religions..these religions have generally held that material prosperity, though necessity is not sufficient for human well-being”.[5]

Mari kita tinjau kondisi di Indonesia. Setiap hari, berbagai kasus kriminal yang melibatkan para pelaku ekonomi silih berganti menghiasi media. Sebut saja kasus Bank Century, penggelapan pajak Bakrie Group, adalah contoh bagaimana perusahaan sangat profit-oriented, tanpa mengindahkan peraturan yang berlaku. Ketika nilai moral tidak lagi bisa dipengang oleh anggota masyarakat, maka moral fallacy telah terjadi, Nassim Thaleb menggunakan istilah moral fallacy untuk menggambarkan kondisi masyarakat yang semakin tamak, dan berorientasi pada maksimisasi profit, dengan cara-cara yang melanggar norma-norma yang ada.[6]

Tepatlah banyak kritikus kapitalisme mengkrtik budaya yang mendewakan materi ini, mengutuk kapitalisme sebagai perbuatan yang anti-sosial dan immoral. Materi seakan membutakan banyak manusia saat ini. Pandangan manusia pun bertransisi menjadi “hidup demi uang”. Penciptaan ekonomi berbasis pasar (yang berarti minimalisasi intervensi pemerintah), yang membiarkan pasar mencapai efisiensinya sendiri, ketika pelaku ekonomi saling menjatuhkan , memperjelas moral fallacy sebagai akibat dari kapitalisme.

Sistem ekonomi Indonesia seyogyanya kembali kepada apa yang telah dirumuskan oleh para founding father kita, mengedepankan ilmu ekonomi sebagai moral sciences yang menjunjung ekualitas, serta berbasis pada tujuan bersama (collective interest). E.P Thompson mencoba mengusung morally economics, menekankan pada sistem ekonomi atas equal wealth distribution, mewujudkan perekonomian yang mampu meminimalkan penyimpangan moral.[7] Penguasaan modal strategis seyogyanya diserahkan kembali kepada negara sesuai dengan UUD 1945 pasal 33, demi terwujudnya sistem ekonomi yang berorientasi pada masyarakat serta menekankan peran pemerintah sebagai regulator dalam membatasi pelaku ekonomi untuk tidak mengeksploitasi sumber daya demi kepuasan pribadi semata.



[1] Sri Edi Swasono, Ekspose Ekonomika : Globalisme dan Kompetensi Sarjana Ekonomi. p.4

[2] Andre Sayer. Moral Economy. p.7-8

[3] Lihat Joan Robinson dalam Sri Edi Swasono, Ekspose Ekonomika : Globalisme dan Kompetensi Sarjana Ekonomi.p.10

[4] Sri Edi Swasono, Ekspose Ekonomika : Globalisme dan Kompetensi Sarjana Ekonomi. p.7

[5] Lihat Umer Chapra dalam Sri Edi Swasono, Ekspose Ekonomika : Globalisme dan Kompetensi Sarjana Ekonomi, p.12

[6] Nassim Nicholas Thaleb. The Black Swan

0 komentar:

Post a Comment