Pages

Saturday, December 25, 2010

A Critical Comment to UI's Election

I have been witnessed the high-tended general election at my campus for about two weeks. Frankly, i have no idea what are people are fighting for. In daily life, we shout democracy, maternal, inside we are as fragile as the legislative board one. Here is my view regarding to UI's annual election this year :

1. Professionalism is at stake. One candidate has formally, by law, mistaken by showing different GPA point's. I think it is common to our custom to hold on after that issue. If this is Japan, surely, that candidate will put off his position. Indeed, i have no obligation to push him off, i just reminding the way professionalism is being sacrificed.

2. Institutional Independence is also at stake. Two public institution which is Constitutional Board, and Legislative Board has tempted to move on it's own way. On the legislative side, somewhat ridiculous, announced the firing letter of five MM Board, the day the MM official decision was being announced. The tendencies also alleged to MM for supporting one candidate.

However, I was thinking that the allegation is also ridiculous. They said the judges are supporting one candidate. Hello, that was very subjective indeed! And what is more outrageous, the Legislative Board processed that petition without further reconcile that issue. Now, who blame who?

I could said that MM was not subjectively preferred to one candidate, since not all of the allegations were being accept by the judges.

3. MM announced that re-election should be done, in 30 days. In addition, one candidate must apologize to public for his mistaken. That decision was being publicly announced using two balihos, in front of FT and FH. Surprisingly, the baliho was missing to nowhere, the night after. Hello! I sceptically saw this politic turn mad, and even worse, the candidate are showing off for position.

4. Re-election is rhetorics? Of course! The committee officially surrender. Legislative Board surely won't accept that request. Who would set up the re-election? How messy! There is not any inter-correlation between institutions. Another classes preferences?

I am very dissappointed the way this year election done. Too many fault, too many indisclipinaries action, too many allegations, too many conflict! I just hope, that the next BEM UI would better off, more inclusive, and more progressive.

To whom who act immaturely, please, be mature. Obey the law, show your dignity!


Pembatasan Subsidi BBM, Disinsetif Perekonomian-kah?

Tulisan ini dimuat di Harian Seputar Indonesia, Senin, 21 Desember 2010, rubrik suara Mahasiswa

Pembatasan Subsidi BBM, Disinsentif Perekonomian-kah?

Oleh : Muhammad Fadel Noorsal

BBM merupakan salah satu komoditas vital dalam suatu perekonomian. BBM merupakan komoditas yang lazim dipergunakan diseluruh dunia, baik sebagai bahan bakar untuk kendaraan, pembangkit listrik, dan keperluan lainnya. Bisa dibayangkan pada tahun 1973 sampai periode 1980’an, dunia mengalami oil shock akibat dikendalikannya pasokan minyak dunia oleh OPEC. Selama periode tersebut, dunia mengalami krisis pasokan minyak, yang berimbas kepada melambatnya performa perekonomian negara-negara di dunia.

Sebagai salah satu komoditas vital, negara berperan penting untuk menjaga pasokan energi utama ini. Instabilitas harga, maupun pasokan minyak dapat menghambat aktivitas perekonomian, seperti aktivitas industri, dan keperluan transporatsi sehari-hari. Untuk dapat terus menggerakan aktivitas perekonomian, seharusnya pemerintah menyediakan pasokan BBM yang cukup, dengan harga yang terjangkau.

Namun, kenyataan sebaliknya terjadi, pemerintah justru membatasi pasokan BBM bersubsidi. Kebijakan tersebut bersifat kontraktif, dan dapat membahayakan pertumbuhan perekonomian Indonesia yang sedang tumbuh. Lantas, tepatkah kebijakan ini dilakukan dengan kondisi perekonomian Indonesia yang sedang bertumbuh? Untuk dapat melihat efektifitas kebijakan ini, kita perlu mencermati alasan atas pemberlakuan kebijakan ini. Alasan pokok pengurangan BBM bersubsidi adalah untuk mengurangi beban anggaran pos subsidi BBM. Pada tahun 2010, subsidi BBM memakan 15% dari APBN. alokasi subsidi BBM bahkan lebih besar daripada anggaran belanja modal, seperti untuk infrastruktur dan pelayanan publik.

Mirisnya, subsidi yang diperuntukkan untuk membantu masyarakat tidak mampu, justru banyak dinikmati oleh golongan mampu. Menurut laporan BPH Migas per 2010, 53% konsumsi BBM bersubsidi dinikmati oleh mobil pribadi, dan 40% oleh sepeda motor. Diantara jumlah tersebut, tidak sedikit pula kendaraan pribadi yang tergolong mewah, dan masih mempergunakan BBM bersubsidi.

Ditinjau dari perspektik ekonomi lingkungan, kebijakan pembatasan kebijakan BBM berimplikasi kepada penciptaan kota yang lebih ramah lingkungan. Selain itu, penghematan BBM bersubsidi juga diharapkan dapat memperpanjang “usia” cadangan minyak Indonesia, yang menurut para ahli akan habis dalam 24 tahun mendatang (Kompas,9/8/2010).

Dengan mencermati alasan tersebut, sangatlah logis pemerintah membatasi penggunaan BBM bersubsidi. Apakah kemudian kebijakan ini menjadi disinsetif bagi perekonomian? Tidak juga. Melalui kebijakan ini, pemerintah dapat mentransfer alokasi subsidi BBM kepada pos yang lebih membutuhkan, misalkan kepada pembangunan infrastuktur dan fasilitas layanan publik.

Pembatasan subsidi BBM, juga akan semakin mendorong efisiensi penggunaan transportasi, dan operasional industri. Jepang dan Jerman, yang secara relatif harga BBMnya lebih mahal daripada Indonesia, mampu menggenjot perekonomiannya lebih cepat daripada Indonesia. Hal ini terlihat dari elastisitas konsumsi BBM atas pertumbuhan ekonomi nasional Indonesia yang bernilai 2,02. Sementara itu, Jepang dan Jerman, justru mendapatkan nilai elastitas yang negatif, menunjukan rasio pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan konsumsi BBMnya (Kompas,10/12/2010).

Di bidang transportasi, pemerintah juga memiliki momentum untuk mempromosikan penggunaan transportasi umum. Pengadaan transportasi masal yang murah dan nyaman, memberikan insentif bagi masyarakat untuk beralih dari kendaraan pribadi. Dengan mengefektifkan penguaan moda transportasi masal, permasalahan kemacetan dapat dikurangi, sekaligus menurunkan beban biaya transportasi logistik akibat berkurangnya kemacetan.



Thursday, October 28, 2010

Economic Rationality, and Social Trap (1)

"Rasionalitas adalah hasil buah pemikiran yang sinkron antara intelegensia otak, dan pembenaran hati"
Prof Irzan Tanjung
Well, ini merupakan hasil rangkuman dari kuliah umum hari ini oleh Prof.Irzan Tandjung, Berly Martawardaya dan Donny Gahral. Hari ini saya mendapatkan sebuah pandangan akademik baru, sebuah pandangan akademis yang luas, dinamis, dan hidup. Suatu hal yang menyenangkan melihat iklim diskusi terus digiatkan, mengingat pembelajaran saat ini di FEUI, dilihat dari karakter mahasiswa-nya sangatlah eco-sentris. Padahal, dilihat secara historis, ekonomi adalah pecahan dari suatu ilmu politik, ataupun filsafat, namun kemudian, perkembangan ekonomi semakin menyempt dengan lahirnya paham neo-klasik, sebelum akhirnya era behavioral economics muncul.

Economics of Rationality, menggugat rasionalitas konvensional.

Bahasan ini cukup berat*terlihat dari antusiasme mahasiswa saat mendengarkan topik ini. Memang, tiap orang berhak menentukan apa yang ia suka, dan tidak ia suka untuk dipahami. Namun, pembahasan ini menurut saya sangat fundamental, membutuhkan pemikiran yang stratejik. Dan, tidak ada salahnya kita sedikit bermain-main dengan istilah-istilah baru bukan? Hal tersebut tidak ubahnya belajar vocabulary english, dalam konteks yang berbeda.

Economics of Rationality, menurut Prof.Irzan adalah suatu pandangan rasionalitas ekonomi, yang menggabungkan hati, dan otak. Hemat saya, rasionalitas dalam konteks ini adalah ilmu ekonomi, dengan ilmu sosial. Tidak bisa dipungkiri bahwa, dasar dari ilmu ekonomi, yang dipahami secara baik dari awal, adalah untuk memuaskan kebutuhan manusia yang tidak terbatas, dengan sumber daya terbatas. Adam Smith (1776), kemudian, membuat klasifikasi manusia sebagai insan yang egois, homo economicus.

Dalam pembahasan rasionalitas inilah, suatu cabang ilmu, dibenturkan dengan dasar dari disiplin ilmu yang lain. Misalnya, dengan ilmu sosial. Kita ambil contoh untuk mempermudah, tenaga kerja kontrak. Berbicara dari sisi ekonomi, atas nama efisiensi, sebagai derivasi dari pandangan ekonomi, tenaga kerja kontrak seharusnya diperbolehkan. Namun, ketika kita berbicara dari sudut pandang sosial, sosiologi misalnya, seharusnya tenaga kerja kontrak dihapuskan, karena memberikan ketidakpastian (insecurity) pada pekerja. Pandangan semacam ini sering kita temukan sebagai suatu hal yang kontradiktif.

Ataupun ketika era awal perusahaan, sebagai entitas yang profit-oriented, bertransisi untuk menjadi entitas yang people-oriented. Bila kita berkaca pada bahasan Milton Frideman (1965), akan keniscayaan-nya pada CSR sebagai suatu yang tidak seharusnya dilakukan perusahaan, kita kemudian akan menemukan hal tersebut lenyap ketika saat ini CSR menjadi suatu hal yang penting. Saat pandangan sosial mulai bertemu dengan paham ekonomi, terjadilah asimilasi. Ketika awalnya pandangan akan CSR dianggap tidak pada tempatnya, rasionalitas manusia-lah yang membuatnya bisa ada.

Nah, bagaimana dengan social trap? Social trap adalah suatu efek negatif kepada aspek sosial, sebagai akibat utilisasi kegiatan ekonomi yang berlandaskan maksimisasi profit. Contohnya adalah pandangan akan tenaga kerja kontrak tadi, yang secara ekonomi dianggap efisien, namun dalam kajian sosiologis ddianggap tidak tepat dengan kondisi ketenagakerjaan, Ataupun terhadap isu iklan, yang secara ekonomi sah, namun secara psikologi konsumen, berarti mendorong pada sikap konsumtif, afeksionis, dan sebagainya.

Namun, tidak berarti rasionalitas adalah proses yang saling memusnahkan, melainkan memperbaiki suatu pola sistem yang ada untuk dapat bercampur satu sama lain. Suatu disiplim ilmu, sebenarnya bertujuan sama, memperbaiki kehidupan umat manusia (Aristoteles). Rasionalitas haruslah dipandang sebagai proses konstruktif dalam mencipatakan suatu pemahaman yang komprehensif, dan tepat secara filosofis, ontologis, dan epistimologis.


Wednesday, October 13, 2010

Here I Am

Tree of Hope. I wish i could answer world's grievances for truth behind lies.

"Aku bukanlah orang yang pandai bermain kata, ataupun dapat membuat mimpi-mimpi indah akan dunia ini. Namun, aku tahu apa yang harus kulakukan, dan apa yang penting dilakukan. Aku mengetahui bahwa dengan kepintaran diatas rata-rata yang diberikan Tuhan pada-ku, aku bisa berbuat sesuatu. Itulah yang membuatku bisa tetap tegar memandang masa depanku, dan dunia-ku, meski tanpa angan-angan utopis. Aku bekerja dengan kata-kata, rumus-rumus, dan analisa-analisa, yang aku percaya, dapat memberi nilai tambah bagi-ku, dan dunia yang aku tempati."



Monday, October 11, 2010

Indonesian Football Team or PSSI Humiliation?

Do our national football team have chance? Wait and see!


Friday, 8 October 2010, one of the biggest match in Indonesia was being held. It was a match between Indonesia vs Uruguay. Indonesia had a real challenge from Uruguay, which now seat on the 7th position in FIFA football rank, and the semi-finalist of FIFA World Cup 2010 in South Africa. Around 50,000 spectators came to support our National team at that time.

Indonesia expect for a glimmer of hope. Several days before the match was being held, newspaper intensively report our national team preparation, from our new prospectus coach, Alfred Riedl, to the invitation of foreign player who reported play in Netherlands League. It was a glimpse of hope, said one of commentator just a minute before the match started. Obviously, people all over Indonesia expect for a better team.

Our hope slightly answered when Boaz scored the first goal on the match for Indonesia, with a skillful individual ability. However, it only last for minute until Cavani scored with a powerful scoring header from Uruguay, and another goal from Suarez. Until the first half, our team was good enough to compete with Uruguay.

It come for the second half, when Indonesian team and spectators witnessed Uruguay world-class playing, and scored another 5 goals, some of them resulted from the mistaken of our defense line. We're being outplayed, said one of the commentator at the end time. Surely, every one will said the same, our national team was outplayed in technique, stamina, and teamwork. Not only against Uruguay, some previous matches against Australia, Vietnam, or Singapore also proved that we are lack of those skills.

At the end, we might have the same question, when our national football crisis will over?



Suarez's Goals


Who's to be blamed?

Just after the match finished, many soccer fans show their grievances, against the outplayed national team in Facebook and Twitter. Some of them blamed the defense player, some of them blamed Alfred Riedl, however, you must be agree with me, that most of them condemn PSSI. They were complained for lacks of managerial program from PSSI, from youth player development, until League's schedule program. "Even PSSI is not able to resolve their internal conflict, such as the election for a new PSSI chairman" one commentators wrote.

For sure, PSSI ought to be the most responsible one. Still clear in some of Indonesian fans when Indonesian national team in 1960's, when we were become one of greatest soccer team in Asia. Our youth development program had succeed to create regional-class player, such as Ronny Pattinasarani, Kurniawan, and BimaSakti. The last two even had chances to played in Italian league. Nowadays, we are lack of talented young player, while Thailand had Khiatisuk Senamuang which ever played in English league, or even Singapore that neutralized several International player.

Another PSSI homework is to manage domestic league competition. PSSI have to regulated about the use of foreign player in domestic teams, brutality among player and spectators is another issue that needed to be handled as it caused severe impacts toward the harmony of football player, and the prestige of domestic football in international point of view.

We are on a hardship. And will be last for ever, if PSSI let problems stay on the boat. PSSI are advancing for the next election of PSSI chairman. This is the time for PSSI to change. Changes never show its result instantly, but when it one succeed it will give an immense effect toward our football prospectus in the future.

Friday, October 8, 2010

Next Target!

Yups, tahun ini pengennya bisa meraih 5 prestasi di karya tulis. Alhamdulillah udah ada 4..
ESC - 1st Essay
ESC - 3rd Research
FISION - 2 nd Essay
IIRA - The youngest presenter

What's next?
Okayh, ayo semangat buat mencapai target ini!
PKM-P PIMNAS
Sciencational LK2 FH UI
IEO FEUI

dan bisa nembusin tulisan ke koran. Bismillah!!!!

Lesson to be Learned! The Creative Destruction Process in Essay


Dear blog! Saya mungkin pada awalnya begitu kecewa dengan kegagalan saya di essay untuk tahun kedua. Mungkin bila tahun pertama saya memang belum siap, tahun ini mungkin saya merasa terlalu PD menghadapi tantangan. Worth saying, memang, kompetisi EPK adalah kompetisi yang sangat dinamis! Menurut saya, penilaian bersifat subjektif atas disiplin dan persepsi pengetahuan juri. Dan memang, namanya juga EPK ya, jadi kritisasi dan inovasi adalah pelajarannya.

Di blog sebelumnya, saya pernah menuliskan beberapa tips menulis essay. Hari ini, alhamdulillah saya mendapatkan satu lagi tipsnya, yang saya lupakan :

"Proses penulisan essay pemikiran kritis bermulai dari sebuah, atau segelumit peristiwa yang kita kritisi, analisis, dan berujung pada penciptaan sebuah inovasi kritis atas permasalahan yang ada. Essay yang kritis, haruslah bisa menunjukan bahwa sebuah permasalahan tersebut benar-benar penting, dan berujung pada beberapa inovasi kritis."

Pada essay kali ini, saya kurang mengelaborasi urgensi permasalahannya. Benar kata juri dari FH, saya mungkin harus bisa memberikan contoh kongkret permasalahan, misal, tenaga kerja kontrak dalam bentuk pekerja migran. Mungkin permasalahan saya bisa lebih baik dielaborasikan, begitu pula dengan solusinya. Contohnya, bisa menyajikan data permasalahan, korban jiwa, kerugian,dsb, Solusinya, kalau bisa terintegrasi dan jangan yang umum. HMMM!

Namun, alhamdulillah, saya kembali bisa belajar. Dunia itu luas, semua orang berkembang, pemikiran berkembang, dan creative destruction-pun tercipta. Oleh karenanya, tetap semangat! dan teruslah menulis!

Saturday, September 11, 2010

Reverse Approval - Talk is Cheap!

As an essais, i often criticize government for their late actions regarding low and middle class problems. I just can't stop complaining, seemed that there are no Government exist to help people.
Reversing : If I, become government side, how i may react toward massive complains from people. I tough, they have do their best. Sometimes, they felt they have done the right things, but we feel the opposite. Then, as regulated in UU no. 29, we have to warn government, in a good manner, of course. We act as government do not work. They work, but not in our favor, that's it!

What I'm Concerning On

Okayh, i am ruined now. As i've previously wrote, this lebaran is totally different. Perhaps there are too much trivial things i worried about. I can't just sit down.

Let me list several points, or perhaps subject that i concern about :
1. Religion and Faith > Philosophies. Balancing is the key, assuring i will not be an Ateis, right after I read Marx, or Nietzche

2. Economics > Poverty, Urban Planning, Industrial Cluster, Farming and Marine. I would rather read conventional economics than financial, although i majoring financial.

3. Equality > Chauvinism

4. Leadership > I have worried with the way i lead people. However, there always time to reform

5. Islam > I fully believe, if religion and God exist, Islam is the most reasonable faith among other. To enhance and profound my understanding towards Islam, i push myself harder to spent more time to read Qur'an and other Islamic books.

6. Post-Graduate/Master Degree. I terribly have no idea. The option would be industrial, manpower, and financial

Friday, September 10, 2010

Lebaran yang tidak Pernah Sama Lagi

Sewaktu aku kecil, lebaran merupakan momen yang sangat menggembirakan, yang paling aku tunggu. Pada hari inilah, aku bisa makan sepuasnya, bersantai sepanjang hari dan tentu-menerima uang tambang dari keluarga yang berkunjung. Lebaran bagiku tidak lebih dari sekedar hari libur, namun dengan segala intrik yang memuaskan. Aku hanya sibuk memikirkan diriku, dan kekayaan ku yang kecil hasil menambang selama lebaran, mengunjungi rumah sana keluarga. Ah, masa yang begitu indah.

Lebaran ini tidak pernah sama lagi saat aku semakin banyak membaca buku, semakin banyak membaca koran, dan semakin banyak berpikir lewat kajian filosofis. Tepat sejak-ku menginjak umur 17 tahun.

Kini perasaan ini tidak pernah sama lagi. Semakin aku menanjak dewasa, lebaran yang sama tidak pernah kurasakan lagi. Persis hari ini, ketika umutku tepat 18 tahun lebih sedikit. Ada suasana berbeda, yang sangat implisit, namun jamak dalam keseharian-ku.

Perasaan yang tidak lain adalah rasa iba, atas ketimpangan yang terjadi disekitarku. Aku hidup layak, sementara para pemulung itu tidak. Aku dengan santainya duduk di mobil APV-ku, sementara tukang sapu harus tetap menyapu jalanan. Aku memakan ketupat dengan lahapnya, sementara para pengemis harus puas dengan sedikit beras yang mereka peroleh dari hasil sembako. Tuhan, aku merasa bersalah.

Memang, tidak berdosa aku seperti ini. Toh, aku tidak memakan uang haram, aku merayakan selebrasi hasil juangku selama 1 bulan. Namun, bak jarum yang menusuk kulit, sakitnya menyentil, dan membekas. Setiap kali ku memandang orang miskin yang merenta di jalan, semakin hatiku tersayat, antara senang karena dilahirkan di keluarga yang mumpuni, dan sedih karena tidak berbuat apa-apa.

Lebaran ini menjadi momen renungan yang sempurna bagi jiwa-jiwa yang matang. 30 hari ku berpuasa, 30 hariku mengaji, 30 hariku belajar, aku semakin dekat dengan realitas ketimpangan dunia, yang semakin fana saja. Puasa mengajarkanku sabar, mengaji mengajarkanku untuk tawaddu, dan belajar membuka horizon ku akan lintas dunia dan akhirat. Aku kini merasakan jiwaku semakin matang, aku bukan anak kecil lagi. Jiwa yang semakin melebur dengan dunia nyata, namun tidak siap dan bahkan takut bahwa dunia yang kejam ini akan menyergapku nanti begitu aku lalai.

Namun, hari ini, lebaran yang berbeda ini, aku jadikan saja sebagai satu lagi harian kecilku, akan hal-hal yang harus aku perbaiki kedepannya. Hari ini aku merasakan tempaan yang mendalam. Aku kelihangan momentum lebaran yang menyenangkan, namun aku menemukan lebaran dalam arti yang harfiahnya. Lebaran, adalah momentum aku bahagia, namun tidak sendiri, namun bersama. Saat si kecil pemulung bisa memakai baju barunya pagi ini, saat si ibu penyapu jalan, bisa menyantap ketupatnya dengan leganya, saat TKI bisa kembali menemui keluarganya, hanya menjelang lebaran. Semua ada di lebaran, momen kasih, dan humanis, yang mungkin luput kita sadari.

Hari ini tetap indah, duka lara yang menentramkan, karena hari ini paling tidak, aku menuliskan beberapa paragraf bagi mereka yang berjuang disana, demi lebaran mereka, untuk kusebarkan pada dunia, aku peduli! Lebaran ini dan berikutnya akan berbeda untukku, dan untukmu disana yang tidak mampu, dan kita rayakan ini berdua, hanya saat ini.

Monday, September 6, 2010

Why Regulation won't Work on American's Financial Institutions

There are reasons, argued by Nouriel Roubini, Professor of Economics at the Stern School of Business, NYU, Chairman of Roubini Global Economics :
1. Smart and greedy bankers and traders will always find ways to circumvent new rules
2. CEOs and boards are themselves subject to major conflicts of interest, because they don’t represent the true interest of their firms’ ultimate shareholders
3. CEOs and boards of directors of financial firms – let alone regulators and supervisors – cannot effectively monitor the risks and behaviors of thousands of separate profit and loss centers in a firm, as each trader and banker is a separate P&L with its own capital at risk

As a result, any reform of regulation and supervision will fail to control bubbles and excesses unless several other fundamental aspects of the financial system are changed :
First, compensation schemes must be radically altered through regulation, as banks will not do it themselves for fear of losing talented people to competitors
Second, repeal of the Glass-Steagall Act, which separated commercial and investment banking, was a mistake.
Third, financial markets and financial firms have become a nexus of conflicts of interest that must be unwound.
Fourth, greed cannot be controlled by any appeal to morality and values. Greed has to be controlled by fear of loss, which derives from knowledge that the reckless institutions and agents will not be bailed out.

Source : http://www.project-syndicate.org/commentary/roubini28/English

Sunday, September 5, 2010

Tuhan, Bangunkan Aku!

Terlelap dalam mimpi gelapku
Aku semakin terkunkung dalam penjara duniawi
Kefanaan semakin menusuk pikiranku
Logikaku tidak lagi bernurani

Setiap hari ku berjalan tanpa orientasi
Aku tidak tahu kemana perjalanan ini akan berhenti
Ku berjalan tanpa ada cahaya
Aku tahu aku telah tersesat

Aku mulai meragukan kodrati Ilahi
Aku mulai menerka siapa Ia yang sebenarnya
Namun, semakin aku melawan, semakin aku terikat
Terkait di belenggu kenistapaan kaum-kaum sekuler

Ah, aku memang hidup
Darahku tetap mengalir
Jantung ku tetap berdetak
Namun, hatiku tidak berdentum, Ia telah hilang

Ah, salahku aku mencari kebenaran hakiki ini?
Mencari sebuah pembenaran
Akan sebuah misi akhir dan tertinggi umat manusia
Dalam menemukan Tuhan-nya?

Oh, Tuhan,
Aku tahu Engkau mungkin murka padaku
Maafkanlah hambamu yang nista ini
Aku hanya lalai membaca tandamu keagungan-MU

Namun, Tuhan
Dalam Firman-mu, Engkau selalu memberi hidayah bagi umatmu
Sinarilah aku, hipnotis aku,
Hingga yakinku meyakini Engkau

Oh Tuhan,
Tidak hanya hamba, Jutaan orang juga menunggu hidayahmu Tuhan
Kami hanyalah secuil pasir yang remeh
Namun, kami mempercayaimu, dan menunggu hadir-MU Tuhan.

Oh Tuhan,
Ihdinassiratalmustaqin,,,
Hanya kepada Engkau-lah aku menyembah dan minta tolong
Bangkitkan aku dari tidur panjangku Tuhan!
Dan aku dan mereka bisa kembali meniti jalanku
Menuju surga-Mu yang kekal...
GW PUNYA CITA-CITA! JANGAN TERPENGARUH DENGAN HANYA TAKARAN NOMINAL! GW HARUS KUAT! KARENA GW, AKAN MEMBUAT PERUBAHAN BAGI MANUSIA YANG LEBIH BAIK! FIGHT!

There She is, my Little Fairy

Oh Hello Girl.
You are so different
I see, you are so beautiful
I see, you are so charming
I see, you have a good eyes
I can;t look back over your glimpse
I see, you have a shiny skin
I can't forget the moment i touch it
I see, your face is so beautiful
I can't stop to see over you every time we meet

I know that you are different
You're a little girl, but struggling like a tall man
I never see someone likes you
One who always have a superior aspire
One who always support others when they are down
One who not let herself down by others
One who never say give up

I am proud for having you
You complete another missing puzzle
Forgive me for doubting you earlier
I now believe
That our bonds should be kept for our self
That our sweat won't be useless
That our hope would become true for sure
You, my little fairies
Thank you for stood besides me
Thank you for coloring my new life
Thank you for keep strong against me

I am here for you, for now and then..

Mewujudkan Sistem Ketenagakerjaan yang Kondusif


Demonstrasi Buruh : Semakin Gencar


"We need the same policy decisiveness that saved banks now applied to save and create jobs and livelihoods of people.”
Juan Somavia, ILO Director-General,

Setiap hari, berita ekonomi di berbagai surat kabar berita mengenai tingkat inflasi, tingkat investasi, pengelolaan hutang, BI Rate, nilai tukar, dan berbagai indikator keuangan silih berganti. Mencermati indikator keuangan makro penting adanya dalam menjaga keseimbangan perekonomian Indonesia. Namun, kepedulian pemerintah terhadap sektor keuangan makro belum seimbang dengan aspek perekonmian lainnya, seperti isu ketenagakerjaan, perbaikan infrastuktur transportasi bagi industri, penciptaan persaingan usaha yang sehat, dan semacamnya. Padahal indikator tersebut tidak kalah penting dibandingkan dengan indikator keuangan makro.

Perhatian yang khusus penulis tekankan kepada isu ketenagakerjaan. Jumlah tingkat pengangguran menurut laporan BPS per Agustus 2009 adalah 7,41%. Bila dilihat secara persentase, trend angka pengangguran sudah menunjukan penurunan dari tahun-tahun sebelumnya yang masih berada diatas 8%.

Sekilas tingkat pengangguran memang menujukan trend penurunan.. Namun, hal tersebut belum dibarengi dengan perbaikan sistem ketenagakerjaan dan kesejahteraan tenaga kerja. Argumen tersebut didasarkan atas 3 poin. Pertama, nilai Upah Minimum Provinsi yang secara rata berada dibawah tingkat biaya kebutuhan hidup layak secara rata-rata di seluruh provinsi di Indonesia. Hal ini disebabkan tingkat penyusaian UMP yang tidak sejalan dengan tingkat pertumbuhan kebutuhan hidup tahunan.

Kedua, masih tingginya angka tenaga kerja tidak terdidik. Dominannya tenaga kerja yang tidak terdidik di Indonesia berimbas terhadap rendahnya pertumbuhan tingkat produktifitas tenaga kerja di Indonesia yang hanya berkisar 4%, tertinggal di banding China 11,1%, Singapura 4,1% dan India 5,4%.

Ketiga, buruknya pengelolaan hubungan antara perusahaan dan tenaga kerja, atau yang dikenal dengan hubungan industrial. Menurut laporan BAPPENAS 2005, buruknya pengolaan hubungan kerja merupakan salah satu penyebab mandeknya investasi asing masuk ke Indonesia.

Perbaikan sistem ketenagakerjaan merupakan PR bagi pemerintah kedepan. Menciptakan sistem ketenagakerjaan yang kondusif jangan hanya berfokus terhadap target menurunkan angka pengangguran, namun juga lebih jauh kepada perbaikan tingkat kejahteraan pekerja. Sekiranya terdapat empat hal yang menjadi tantangan pemerintah kedepannya : Pertama, penciptaan tenaga kerja terdidik melalui skema pendidikan formal di sekolah dan program penciptaan wirausaha muda. Kedua, meninjau kembali kelayakan standar upah minimum di sebuah propinsi dengan tingkat biaya kebutuhan hidup layak di semua provinsi.

Ketiga, meninjau dan mengatur kembali UU Ketenagakerjaan no. 13 tahun 2003, terkait pengaturan perihal kerja kontrak, dan outsourcing, pengupahan, penyelesaian perkara hubungan kerja, dan pemutusan hubungan kerja. Keempat, menyelesaikan pembahasan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), yang didalamnya termasuk sistem jaminan bagi pekerja.

Perbaikan sistem ketenagakerjaan tidak hanya memberikan manfaat lebih bagi kesejahteraan hidup pekerja, namun juga memberikan dampak langsung bagi akselerasi produktivitas perekonomian Indonesia. Sudah saatnya pemerintah memenuhi slogan “pro poor, pro growth dan pro job” yang diumbar pada awal masa pemerintahan. Jangan sampai slogan tersbeut hanya sekedar wacana pencitraan semata.


Friday, September 3, 2010

This Semester Important Notes

1. My recent activities have ruin most of my schedules. I fully perceived that i overlap with my tasks.

2. While i concerning for committee matters, i just could not left my passions, reading and writing essay which i strongly believe distort my concentration.

3. I only take 18 course credits, but i feel it even harder that previous semester for me have taken a month holiday. I just can not stop thinking about exchanging my own concentration.

4. Theology philosophies, ruined my own belief with a so confusing question. However, a strong stance have help to protect myself from odd thought.

5. Absence of English course-taking, since i enter this university, left me behind than others. I strongly intent to take English course next year.

6. I felt that HR is more interesting than finance. It comes for 2 reason :a. Higher chance to be accepted as lecturer as the competition in HR area is less competitive than Finance. b. I finally found a lecturer, who is eligible to guide me. And she is HR lecturer.


LET ME OUT OF THIS!

Wednesday, September 1, 2010

Menangani Permasalahan Emisi Karbon di Kota


Polusi udara menjadi salah satu permasalahan serius yang mendera kota besar di berbagai belahan dunia. Tingginya intensitas aktivitas industri di kota besar menyumbang polusi udara yang sangat besar. Apalagi di era industrialisasi saat ini, jumlah emisi karbon semakin meningkat. Selain dari industri, emisi buangan kendaraan bermotor juga menyumbang persentase polusi udara yang cukup besar. Seperti yang dapat kita lihat di Jakarta, jumlah sepeda motor mencapai 8 Juta unit, dan mobil mencapai 1 Juta unit. Dengan jumlah kepadatan kendaraan bermotor, tidak heran, tingkat polusi udara semakin meningkat setiap tahunnya.

Diantara berbagai penyebab polusi udara, perihal emisi karbon, menjadi salah satu permasalahan yang kembali hangat disorot. Emisi karbon sangat membahayakan kesehatan tubuh manusia, membuat udara menjadi tercemar, dan yang lebih parah mempercepat kerusakan lapisan ozon.

Pada saat berbagai negara membenahi prosedur penanganan emisi karbon-nya, pemerintah Indonesia belum terlihat menunjukan upaya yang optimal dalam menanganinya, utamanya di kota besar. Menurut laporan World Bank dan UNEP tahun 2008, tingkat emisi karbon di Jakarta mencapai dari batas normal . Laporan World Bank 2008 bahkan menempatkan Jakarta sebagai salah satu dari 20 kota dengan polusi terburuk di Asia. Kondisi ini akan terus bertambah parah apabila perkiraan pakar perihal kelumpuhan Jakarta di tahun 2014 benar-benar terjadi.

Diperlukan penanganan secara efektif dan efisien untuk menanggulanginya. Dari sudut pandang ekonomi, menurut Arthur Pigou, polusi udara menghasilkan eksternalitas negatif dalam kurva keseimbangan. Menurut Pigou, eksternalitas negatif akan memberikan biaya tambahan yang ditanggung oleh masyarakat yang disebut social cost. Untuk mengurangi eksternalitas negatif tersebut, diperlukan serangakaian kebijakan untuk mereduksi produksi emisi karbon. Setidaknya terdapat dua cara yang dapat ditempuh. Model pertama adalah dengan menggunakan carbon emission limit. Melalui kebijakan ini, baik industri maupun kendaraan bermotor diberikan batasan emisi karbon yang diperbolehkan. Kebijakan ini sebenarnya telah pernah dilaksanakan di Jakarta pada tahun 2008, namun saat ini tidak diketahui bagaimana kelanjutannya.

Model kedua adalah dengan menggunakan pajak polusi dan carbon emission trading. Dengan metode ini, industri akan dikenakan biaya setiap jumlah karbon yang dihasilkan. Kebijakan ini telah ditwempuh di beberapa negara maju seperti, Amerika, Irlandia, Jepang, Inggris dan Prancis.

Selian daripada pencanangan kebijakan, diperlukan serangkaian program tambahan untuk memperkuat fondasi kebijakan ramah lingkungan, seperti pembatasan jumlah kendaraan bermotor tiap keluarga, penambahan dan perbaikan angkutan transportasi publik. Kegiatan reboisasi juga harus kembali digiatkan, untuk mereduksi dampak negatif emisi karbon.

Selain itu, berbagai upaya penyadaran masyarakat juga perlu dilaksanakan. Masyarakat perlu disosialisasikan mengenai dampak buruk daripada polusi udara, dan sekaligus mencoba menarik partisipasi masyarakat untuk beralih ke angkutan transportasi publik, tidak membakar sampah di tempat terbuka, dan menggiatkan penanaman tanaman hijau.

Selain mengupayakan pengelolaan domestik, pemerintah juga sekiranya dapat bersikap tegas dalam pertemuan multilateral terkait perubahan iklim. Seperti yang telah disepakati dalam konsensus Kyoto sampai konsensus Copenhagen, negara maju telah berikrar untuk mengurangi tingkat produksi emisi karbon dunia.