Pages

Thursday, April 15, 2010

Mewujudkan Pendidikan yang Berkeadilan

UU BHP telah dibatalkan! Sorak sorai para aktivis, baik dari golongan mahasiswa maupun umum menggelegar menyambut batalnya UU BHP. Keputusan MK dalam Juridical Review pada tanggal 30 Maret 2010 secara resmi, dan legal-formal membatalkan UU BHP yang telah dilaksanakan kurang lebih 2 tahun lamanya.

Pembatalan UU BHP ini sendiri menimbulkan banyak pro dan kontra. UU BHP bertujuan untuk membentuk perguruan tinggi negeri yang otonom, dari segi dan menekankan prinsip good governance, transparansi dan akuntabilitas. UU BHP dinilai akan mengefesiensikan penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia.

Namun, UU ini mendapat banyak protes, terutama masalah otonomi keuangan. Jaya Suprana menilai UU BHP ini merupakan satu upaya untuk mengkomersialisasikan pendidikan. Pakar pendidikan UI, Hanif secara terang-terangan menyebut UU BHP sebagai rencana strategis dari Kemendiknas, untuk membuat perguruan tinggi layaknya organisasi bisnis yang berorientasi profit. Dalam pasal disebutkan, pemerintah hanya menanggung 30% alokasi anggaran ke PT, dan 50% untuk sekolah dasar, dan menengah. Pasal ini secara jelas memperlihatkan bentuk lepas tangan pemerintah. Padahal, sesuai UUD 1945, pemerintah wajib bertanggungjawab dalam proses pelaksanaan pendidikan.

Bagaimana nasib pendidikan Indonesia setelah ini? Apakah akan kembali kepada Badan Hukum Milik Negara (BHMN) atau menjadi Badan Layanan Umum (BLU) ? Wacana yang beredar belakangan. Kemendiknas akan segera menerbitkan peraturan terbaru, yang kabarnya tidak jauh dari UU BHP. Namun, apapun bentuk usulan yang digagas, pendidikan jangan dijadikan lahan untuk komersialisasi. Pendidikan adalah ruang publik, tiap orang bila mampu secara intelegensia dan ada kemauan mempunyai hak untuk menerimanya.

Pemerintah memang dikejar waktu untuk segera menerbitkan peraturan terbaru menggantikan UU BHP, namun perlu diingat bahwa UU yang baru haruslah menwujudkan pendidian yang berkeadilan. Pendidikan yang berkeadilan merupakan jalan menuju pemerataan pendidikan bagi semua golongan. Dalam pendidikan yang berkeadilan, peserta didik secara jelas dikenakan biaya operasional sesuai proporsi kemampuannya. Peserta didik yang tidak mampu secara financial, dibantu dengan pemberian beasiswa. Untuk itulah peran pemerintah masih sangat strategis untuk mencapai tujuan tersebut.

Lantas, bagaimana dengan output menciptakan universitas bertaraf world class? Pemerintah jangan dulu terlalu mencanangkan impian-impian yang muluk. Mari tinjau ulang, apa sebenarnya esensi dengan menjadi world class university? Sampai kini, rencana itu tidak lebih dari penonjolan infrastruktur mewah. Namun, sudahkan pemerintah melihat pembangunan kualitas mahasiswa? Kita jangan hanya terpaku pada pemeringkatan saja. Pmeringkatan tidak lebih hanya sebagai pemanis pendidikan. Buat apa peringkat tinggi toh hanya infrastrukturnya saja yang maju, sementara kualitas mahasiswa masih terbilang rendah?.

Setelah mewujudkan pemerataan pendidikan, tingkatan selanjutnya membangun secara bertahap kualitas SDM melalui penyediaan pendidikan yang berkualitas. Menciptakan SDM yang berkualitas tidak melulu dikaitkan dengan infrastruktur mahal, dsb, tidak. Menciptakan SDM yang berkualitas lebih dititikberatkan pada pembangunan mental, motivasi, serta sikap kritis peserta didik.

Semua tujuan diatas hanya akan terwujud apabila pemerintah bersungguh-sungguh membenahi dunia pendidikan di Indonesia. Untuk itulah perlu didukung dengan instrument yang kuat, salah satunya peraturan yang berlaku. Tanpa adanya UU yang menjaminkan pendidikan yang berkeadilan, mewududkan pembangunan pendidikan di Indonesia selamanya hanya akan menjadi mimpi belaka!

0 komentar:

Post a Comment