Pages

Saturday, December 25, 2010

Pembatasan Subsidi BBM, Disinsetif Perekonomian-kah?

Tulisan ini dimuat di Harian Seputar Indonesia, Senin, 21 Desember 2010, rubrik suara Mahasiswa

Pembatasan Subsidi BBM, Disinsentif Perekonomian-kah?

Oleh : Muhammad Fadel Noorsal

BBM merupakan salah satu komoditas vital dalam suatu perekonomian. BBM merupakan komoditas yang lazim dipergunakan diseluruh dunia, baik sebagai bahan bakar untuk kendaraan, pembangkit listrik, dan keperluan lainnya. Bisa dibayangkan pada tahun 1973 sampai periode 1980’an, dunia mengalami oil shock akibat dikendalikannya pasokan minyak dunia oleh OPEC. Selama periode tersebut, dunia mengalami krisis pasokan minyak, yang berimbas kepada melambatnya performa perekonomian negara-negara di dunia.

Sebagai salah satu komoditas vital, negara berperan penting untuk menjaga pasokan energi utama ini. Instabilitas harga, maupun pasokan minyak dapat menghambat aktivitas perekonomian, seperti aktivitas industri, dan keperluan transporatsi sehari-hari. Untuk dapat terus menggerakan aktivitas perekonomian, seharusnya pemerintah menyediakan pasokan BBM yang cukup, dengan harga yang terjangkau.

Namun, kenyataan sebaliknya terjadi, pemerintah justru membatasi pasokan BBM bersubsidi. Kebijakan tersebut bersifat kontraktif, dan dapat membahayakan pertumbuhan perekonomian Indonesia yang sedang tumbuh. Lantas, tepatkah kebijakan ini dilakukan dengan kondisi perekonomian Indonesia yang sedang bertumbuh? Untuk dapat melihat efektifitas kebijakan ini, kita perlu mencermati alasan atas pemberlakuan kebijakan ini. Alasan pokok pengurangan BBM bersubsidi adalah untuk mengurangi beban anggaran pos subsidi BBM. Pada tahun 2010, subsidi BBM memakan 15% dari APBN. alokasi subsidi BBM bahkan lebih besar daripada anggaran belanja modal, seperti untuk infrastruktur dan pelayanan publik.

Mirisnya, subsidi yang diperuntukkan untuk membantu masyarakat tidak mampu, justru banyak dinikmati oleh golongan mampu. Menurut laporan BPH Migas per 2010, 53% konsumsi BBM bersubsidi dinikmati oleh mobil pribadi, dan 40% oleh sepeda motor. Diantara jumlah tersebut, tidak sedikit pula kendaraan pribadi yang tergolong mewah, dan masih mempergunakan BBM bersubsidi.

Ditinjau dari perspektik ekonomi lingkungan, kebijakan pembatasan kebijakan BBM berimplikasi kepada penciptaan kota yang lebih ramah lingkungan. Selain itu, penghematan BBM bersubsidi juga diharapkan dapat memperpanjang “usia” cadangan minyak Indonesia, yang menurut para ahli akan habis dalam 24 tahun mendatang (Kompas,9/8/2010).

Dengan mencermati alasan tersebut, sangatlah logis pemerintah membatasi penggunaan BBM bersubsidi. Apakah kemudian kebijakan ini menjadi disinsetif bagi perekonomian? Tidak juga. Melalui kebijakan ini, pemerintah dapat mentransfer alokasi subsidi BBM kepada pos yang lebih membutuhkan, misalkan kepada pembangunan infrastuktur dan fasilitas layanan publik.

Pembatasan subsidi BBM, juga akan semakin mendorong efisiensi penggunaan transportasi, dan operasional industri. Jepang dan Jerman, yang secara relatif harga BBMnya lebih mahal daripada Indonesia, mampu menggenjot perekonomiannya lebih cepat daripada Indonesia. Hal ini terlihat dari elastisitas konsumsi BBM atas pertumbuhan ekonomi nasional Indonesia yang bernilai 2,02. Sementara itu, Jepang dan Jerman, justru mendapatkan nilai elastitas yang negatif, menunjukan rasio pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan konsumsi BBMnya (Kompas,10/12/2010).

Di bidang transportasi, pemerintah juga memiliki momentum untuk mempromosikan penggunaan transportasi umum. Pengadaan transportasi masal yang murah dan nyaman, memberikan insentif bagi masyarakat untuk beralih dari kendaraan pribadi. Dengan mengefektifkan penguaan moda transportasi masal, permasalahan kemacetan dapat dikurangi, sekaligus menurunkan beban biaya transportasi logistik akibat berkurangnya kemacetan.



0 komentar:

Post a Comment