Pages

Friday, September 10, 2010

Lebaran yang tidak Pernah Sama Lagi

Sewaktu aku kecil, lebaran merupakan momen yang sangat menggembirakan, yang paling aku tunggu. Pada hari inilah, aku bisa makan sepuasnya, bersantai sepanjang hari dan tentu-menerima uang tambang dari keluarga yang berkunjung. Lebaran bagiku tidak lebih dari sekedar hari libur, namun dengan segala intrik yang memuaskan. Aku hanya sibuk memikirkan diriku, dan kekayaan ku yang kecil hasil menambang selama lebaran, mengunjungi rumah sana keluarga. Ah, masa yang begitu indah.

Lebaran ini tidak pernah sama lagi saat aku semakin banyak membaca buku, semakin banyak membaca koran, dan semakin banyak berpikir lewat kajian filosofis. Tepat sejak-ku menginjak umur 17 tahun.

Kini perasaan ini tidak pernah sama lagi. Semakin aku menanjak dewasa, lebaran yang sama tidak pernah kurasakan lagi. Persis hari ini, ketika umutku tepat 18 tahun lebih sedikit. Ada suasana berbeda, yang sangat implisit, namun jamak dalam keseharian-ku.

Perasaan yang tidak lain adalah rasa iba, atas ketimpangan yang terjadi disekitarku. Aku hidup layak, sementara para pemulung itu tidak. Aku dengan santainya duduk di mobil APV-ku, sementara tukang sapu harus tetap menyapu jalanan. Aku memakan ketupat dengan lahapnya, sementara para pengemis harus puas dengan sedikit beras yang mereka peroleh dari hasil sembako. Tuhan, aku merasa bersalah.

Memang, tidak berdosa aku seperti ini. Toh, aku tidak memakan uang haram, aku merayakan selebrasi hasil juangku selama 1 bulan. Namun, bak jarum yang menusuk kulit, sakitnya menyentil, dan membekas. Setiap kali ku memandang orang miskin yang merenta di jalan, semakin hatiku tersayat, antara senang karena dilahirkan di keluarga yang mumpuni, dan sedih karena tidak berbuat apa-apa.

Lebaran ini menjadi momen renungan yang sempurna bagi jiwa-jiwa yang matang. 30 hari ku berpuasa, 30 hariku mengaji, 30 hariku belajar, aku semakin dekat dengan realitas ketimpangan dunia, yang semakin fana saja. Puasa mengajarkanku sabar, mengaji mengajarkanku untuk tawaddu, dan belajar membuka horizon ku akan lintas dunia dan akhirat. Aku kini merasakan jiwaku semakin matang, aku bukan anak kecil lagi. Jiwa yang semakin melebur dengan dunia nyata, namun tidak siap dan bahkan takut bahwa dunia yang kejam ini akan menyergapku nanti begitu aku lalai.

Namun, hari ini, lebaran yang berbeda ini, aku jadikan saja sebagai satu lagi harian kecilku, akan hal-hal yang harus aku perbaiki kedepannya. Hari ini aku merasakan tempaan yang mendalam. Aku kelihangan momentum lebaran yang menyenangkan, namun aku menemukan lebaran dalam arti yang harfiahnya. Lebaran, adalah momentum aku bahagia, namun tidak sendiri, namun bersama. Saat si kecil pemulung bisa memakai baju barunya pagi ini, saat si ibu penyapu jalan, bisa menyantap ketupatnya dengan leganya, saat TKI bisa kembali menemui keluarganya, hanya menjelang lebaran. Semua ada di lebaran, momen kasih, dan humanis, yang mungkin luput kita sadari.

Hari ini tetap indah, duka lara yang menentramkan, karena hari ini paling tidak, aku menuliskan beberapa paragraf bagi mereka yang berjuang disana, demi lebaran mereka, untuk kusebarkan pada dunia, aku peduli! Lebaran ini dan berikutnya akan berbeda untukku, dan untukmu disana yang tidak mampu, dan kita rayakan ini berdua, hanya saat ini.

0 komentar:

Post a Comment